This is a story bout my dad.
Seperti yang bisa kalian lihat, aku pernah menceritakan
tentang kehidupanku bersama papap di blog sebelum ini. Tapi setelah 27 Juli
2013 lalu, aku mulai bisa memandang semua hal tentang papap dari sisi lain.
Dari sisi papap.
Mungkin aku terlalu menekankan keinginan aku untuk sedikit
dibebaskan dalam bergaul dengan teman-teman. Pulang agak malam, malam mingguan, buka puasa
bersama di luar, sering mengajak pacar ke rumah dan juga sering mengunjungi
rumah pacar.
Sebenarnya agak berat mengetik ini.. Tadinya aku men-deadline-kan sebelum 40 harian
papap, karena katanya selama 40 hari pertama papap masih ada di sekitar kami.
Walaupun sebenarnya aku percaya sampai kapan pun papap akan selalu ada di dekat
kami. Aku ingin papap membaca saat aku menulis ini. Semoga tulisan ini bisa juga
bermanfaat untuk yang membaca.
Beberapa hari sebelum papap pergi.
Papap kerja seperti biasa, berangkat pukul 6 pagi dan pulang
pukul 4 sore. Hari itu aku sedang membantu mama membuat orderan kue lebaran. Di
rumah ada ibu, ibu adalah orang yang mengasuh aku sejak aku masih bayi merah,
bayi yang baru beberapa hari dilahirkan. Ibu juga membantu membuat kue. Sepulangnya
dari kantor, papap langsung memberikan fotokopian tentang “Bahayanya Tidur
Setelah Sahur” yang di kutip dari
kompas(dot)com. Aku yang sudah
terbiasa sehabis sholat subuh langsung tidur lagi hanya membacanya sekilas tanpa
mengamalkannya. Aku cuma menempelnya di mading kamarku. Papap ternyata punya
banyak fotokopiannya, kata papap, kasih satu buat ibu. Aku masukkan ke kantung
yang akan dibawa ibu pulang. Lalu akhirnya aku lupa pada kertas itu.
Sehari sebelum papap pergi.
Jam 10 pagi aku
sedang di teras rumah bersama ibu, bikin kue lebaran lagi. Aku kaget melihat
papap sudah pulang jam segitu, biasanya kan pulang jam 4 sore. Waktu aku tanya
kenapa, papap seperti biasa selalu bercanda, “Cuti”, katanya sambil tertawa.
Papap lalu membereskan rumah dan menggelar karpet, karena hari ini rencananya
akan di adakan khatam Al-Qur’an dan buka bersama denga n ustad beserta keluarganya
di rumah. Setelah itu papap mandi dan pamit ke masjid untuk sholat jum’at.
Aku menghabiskan waktu dengan membuat kue sampai agak sore,
lalu aku mandi dan berganti pakaian dengan hijab. Semua berlalu begitu saja,
semua tampak normal. Aku bahkan sempat bercanda dengan papap saat papap
menggelar karpet. Lalu aku diminta mama untuk membungkus coklat di plastik
kecil-kecil untuk camilan yang ikut khatam Al-Qur’an di rumah. Lalu Tia datang ke rumah, aku minta Tia
membantu membungkus coklat. Setelah beres aku minta Tia memfotokan aku yang
(kebetulan) sedang mengenakan hijab. Mama melihat dan mengajak foto bersama
dengan papap juga. Lalu kami foto bertiga. Kami difoto tiga kali, yang pertama
dan kedua selalu gagal. Yang pertama mamanya merem, yang kedua papapnya lagi
ngomong. Yang terakhir papap kalem sekali difotonya, kami semua tersadar
setelah papap gak ada, baru sekali papap difoto dengan sangat kalem seperti
itu.
Setelah khatam Al-Qur’an selesai, kami menyiapkan menu untuk
berbuka puasa. Tak lama ustad beserta keluarganya datang lagi ke rumah, dan
kami berbuka puasa bersama. Setelah selesai sholat maghrib, kami menyantap
makanan, walaupun aku sedang tidak berpuasa, acara dilanjut sholat isya dan
tarawih berjamaah. Aku yang sedang berhalangan hanya diam di kamar sambil
mengasuh baby-nya ustad. Sampai sekitar pukul 10 malam kami mengobrol.. Aku
tidak terlalu ingat karena waktu itu aku tidak terlalu memperhatikan obrolan,
ternyata selama mengobrol papap membicarakan usia. Sebentar lagi papap pensiun
lah, apa lah.. Memang kalau sudah tidak ada, baru kita akan menyadari setiap
makna dari ucapannya.
Malam itu sekitar pukul 12 malam aku masih bangun, dan
sedang twitteran dengan Nicky. Kami sedang bercanda.. “Parasut itu bahasa sundanya
kalah, ya?”, kata Nicky. Aku bingung, mungkin maksudnya lasut. Tapi bukannya
lasut itu gagal, ya? Aku bingung dan aku ke belakang. Papap memang lebih banyak
menghabiskan waktu di belakang. Karena disana ada mushola papap, dari kecil aku
dan keluarga selalu menyebutnya “Assalamualaikum”. Mungkin agar terbiasa setiap
masuk mengucapkan salam. Dan biasanya juga papap mencuci baju dari jam 8 dan
beres jam 2 subuh baru papap tidur. Mungkin karena papap insomnia, atau karena
sudah kebiasaan, entahlah. Aku menghampiri papap dan bertanya,
“Pap, bahasa sundanya ‘kalah’ apa?”
Papap menjawab, “Eleh,
atuh..”
Aku bertanya lagi, “Kalau ‘lasut’, bisa? Bukannya itu artinya ‘lepas’?”
“Bisa juga, sih..” dan blablabla… Karena aku merasa jawaban
tadi sudah cukup, lalu aku bilang
“Oh, iya iya.” Sambil seraya kembali ke kamar. Padahal papap
sepertinya masih hendak menjelaskan.
Dan itu lah last
conversation aku sama papap. Anak macam apa aku.. disaat-saat terakhir cuma
bisa bertanya seperti itu….
Kalau gak salah sekitar pukul 2 aku masih bangun, online.
Lampu kamar masih kubiarkan menyala. Papap seperti biasa kalau mencucinya sudah
beres, pasti ke kamar aku untuk menyalakan hit elektrik. Sejak saat dulu aku
terkena demam berdarah dua kali, papap khawatir sekali aku kena db lagi sehingga
di rumah selalu sedia hit elektrik. Kalau dulu sebelum ada elektrik papap
selalu sedia baygon bakar, tapi karena asapnya membuat asmaku kambuh, papap gak
pernah pakai itu lagi. Bahkan dulu papap pernah membuatkan kelambu yang di
tempel di atas kasur. Teman-temanku suka meledek aku kayak ayam dikurungin, ada
juga yang menakut-nakuti aku seperti Suzana di film terakhirnya karena ada scene Suzana sedang duduk di kasur yang
berkelambu. Setelah beberapa tahun aku pun berani mencopot kelambu tanpa izin
dulu sama papap, dengan alasan mau renovasi kamar. Padahal aku sudah bosan juga
tidur dibawah kelambu. Mungkin papap sedih ya waktu itu, karena papap
membuatnya sendiri sewaktu papap libur kerja. Dari pagi sampai sore baru
selesai. Dan aku mencopot kelambu itu dengan santainya. Jahat sekali aku.
Banyak. Banyak sekali yang aku sesali. Beberapa tahun
terakhir teteh memang menitipkan papap padaku, katanya papap kan udah tua,
jangan sering dibiarkan kecapean. Aku cuma kadang-kadang saja membantu mencuci
pakaian dan juga piring, apalagi menyapu dan mengepel. Aku merasa sudah cukup
sibuk dan cape dengan kuliah dan kegiatanku sehari-hari. Padahal ya kerjaanku
hanya itu-itu saja, pasti lebih berat kerjaan papap dan mama. Aku menyesal
karena di minggu-minggu terakhir aku malah sering sekali bertengkar dengan
papap. Karena aku mengikuti egoku. Aku ingin dibebaskan dan akan selalu
membangkang sampai hal itu terjadi.
Aku memang sudah memiliki feeling akan ini. Aku selalu gelisah setiap melihat mobil ambulans,
aku selalu memperhatikan saat akan membangunkan papap dan mama, apakah masih
bernafas atau tidak, kalau papap dan mama belum pulang di jam-jam biasanya
selalu aku sms dengan nada khawatir, kalau papap dinas malam selalu aku sms,
aku ingatkan untuk makan dan jangan tidur terlalu malam.
Papap selalu terlihat berat saat melepas aku kuliah. Kalau
aku masuk pagi, aku selalu bareng papap naik motor, dan aku pasti minta
diturunkan di Istana Plaza agar papap tidak terlambat. Dari IP aku naik angkot.
Setiap kali aku bilang,
“Papap duluan aja, nanti telat. Bentar lagi juga angkotnya
dateng.”
Papap selalu saja malah mematikan mesin motor,
menstandarkannya, dan selalu bertanya,
“Ongkosnya cukup? Ada receh ga buat di angkotnya?”
Dan sebelum aku jawab pun papap sudah mengambil recehan
untuk aku bayarkan di angkot.
Setelah angkot datang, aku masuk, melambaikan tangan, dan
entah hanya perasaan aku atau memang begitu, aku rasa wajah papap selalu
terlihat sedih.
Hari kejadian.
Malam saat aku masih bangun dan tweeting, papap ke kamarku, menyalakan
hit, dan bilang,
“Tidur, udah malem.”
Aku cuma jawab, “Iya, nanti.”, sambil tetap asik dengan
handphone.
Tapi aku sempat saling bertatap dengan papap, papap
melihatku dengan cara yang berbeda, tidak seperti biasanya. Aku sempat
bertanya-tanya dalam hati, kenapa, ada apa, tapi setelah itu papap tidak
mengucapkan apa pun dan pergi ke tempat tidurnya.
Aku pun ketiduran. Aku terbangun mungkin sekitar pukul 2
subuh, aku merasa kesulitan untuk tidur kembali. Dan aku tiba-tiba teringat,
kalau dulu aku gak bisa tidur pasti di usap-usap kepalanya sama papap sambil
dibacakan doa dan sholawat. Aku pasti langsung tertidur. Aku sudah mau ke kamar
papap dan mama untuk meminta di usap-usap, tapi aku pikir, masa aku mengganggu
tidur papap. Aku mengurungkan niatku dan mencoba tidur kembali. Sebelum
tertidur aku mendengar papap ngelindur. Seperti sedang berbicara dengan seseorang,
tapi aku tak ambil pusing karena papap memang sering ngelindur, dan disebelah
papap kan ada mama. Kalau ada apa-apa pasti mama tersadar.
Sekitar pukul setengah 4 pagi aku terbangun lagi. Aku ingat
obrolanku dengan Tia semalam, aku bilang walaupun aku sedang tidak berpuasa,
aku akan bangun saat sahur untuk ikut main #mynameis. Tapi entah kenapa aku
tiba-tiba mengantuk lagi, aku pun memutuskan untuk kembali tidur. Samar-samar
aku mendengar suara sendok yang bersentuhan dengan piring, papap dan mama
sedang sahur. Tak lama aku tidak lagi mendengar dan mengingat apapun. Aku
tertidur lagi.
Entah hanya imajinasiku, atau aku memang bermimpi. Kepalaku
di usap-usap oleh papap sambil dibacakan doa dan sholawat seperti dulu lagi.
Aku merasa tenang dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Mungkin aku tertidur lelap
saat itu.
Sampai akhirnya aku terkaget-kaget sekitar pukul setengah 6
pagi. Mama teriak-teriak memanggil namaku dengan nada yang penuh kecemasan dan
hampir menangis. Aku serentak lompat dari kasur dan menuju sumber suara, kamar
mereka. Aku mulai tersadar, aku jelas sekali melihat papap yang sedang tertidur
dan mengerang seperti kesakitan. Tapi tetap dengan posisi tertidurnya yang
seperti biasa. Mama berteriak-teriak panik sambil menuntun papap mengucapkan
Allah.. Allah..
Aku seketika membatu dan merasa 15
tahun lebih muda, aku merasa seperti anak kecil yang tidak tahu harus berbuat
apa. Kakiku lemas. Badanku merinding. Pikiranku kosong. Aku lompat ke kasur
sambil memegang tangan papap. Aku takut. Aku meminta maaf pada papap, dan
meminta papap untuk jangan meninggalkan aku. Lalu aku melihat papap menangis.
Iya, papap menangis. Seumur hidup hanya dua kali aku melihat papap menangis.
Saat tetehku menikah dan saat itu. Aku mendengar detak jantungnya masih ada,
badannya masih hangat, tapi papap masih magap-magap. Mungkin kesulitan
bernapas. Mama menyuruhku memanggil tetangga. Aku seketika lari ke rumah
tetangga, tidak peduli aku pakai sendal yang mana, pagar pun aku biarkan
terbuka, aku panik. Sambil berlari aku berjanji pada Allah, jika papap
disehatkan aku berjanji akan selalu nurut sama papap, ga akan membangkang lagi,
aku akan jadi daddy’s little girl yang
baik. Aku berjanji. Saat aku sampai di rumah, mama sedang panik menelfon
saudara dan tetangga yang dekat dari rumah. Tak lama mereka berdatangan. Aku
dan mama yang masih optimis menyiapkan segala perlengkapan untuk pergi ke rumah
sakit, mama menyuruhku mencarikan tas papap. Karena disitu pasti tempat KTP,
ATM, dan uang cash. Aku tidak sadar
kenapa tas papap begitu mudahnya aku temukan, biasanya disimpan di
Assalamualaikum, tapi waktu itu ada di atas meja di depan Assalamualaikum. Aku
sempat melongok ke dalam tas untuk mengecek KTP dsb, aku melihat segepok uang.
Padahal setiap kali aku meminta uang, papap seringkali bilang gak ada uang.
Tapi aku tidak memikirkan hal itu terlalu jauh. Aku berikan tasnya pada mama.
Aku lemas dan hanya bisa duduk di kamarku sendiri sambil berdoa.
Entah kenapa tapi aku memang sudah
merasa bahwa hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Aku selalu berpikir aku
harus siap, karena kematian akan menghampiri semua jiwa yang hidup. Tapi aku
tidak menyangka akan datang secepat ini.. Uwa yang semalam ikut buka bersama di
rumah pun tiba, kebetulan beliau seorang mantri, jadi mengerti hal seperti ini.
Beliau mengecek keadaan papap dan mengatakan kalau papap.. pingsan. Aku dan
mama otomatis merasa lega, tapi aku setengah percaya. Karena wajah uwa tidak
menunjukkan ekspresi ketenangan.
Tak lama ustad yang semalam pun
datang, bersama ayahnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena aku
diam di kamarku bersama beberapa ibu-ibu pengajian. Yang aku dengar, ustad
memegang nadi di leher papap, dan ayahnya memegang nadi di kaki papap. Ustad
bertanya pada ayahnya,
“Yah, masih ada?”
“Masih, nak.”, jawab ayahnya.
Lalu ustad berbisik pada papap,
“Bapak Lucky, kalau bapak mau pergi, silakan. Kami ikhlas.”
Dan ustad bertanya lagi kepada
ayahnya, “Yah, masih ada?”
“Sudah tidak ada, nak.”
Aku keluar kamar. Aku melihat
ibu-ibu sedang menggelar karpet. Aku berfikir, untuk apa karpet digelar? Lalu
aku bertanya. Padahal aku tahu itu adalah pertanyaan retoris.
“Kenapa karpetnya digelar?!
Kenapa?!”
Ibu-ibu menjawab sambil lirih.. “Biar lega, ya, de. Biar ga
hareudang.”
Aku tahu mereka berbohong.
Aku ingin menerobos masuk ke kamar
papap, tapi Tante Sumi mengahalangiku dan memelukku. Seketika aku jatuh, kakiku
lemas, pandanganku kosong. Aku cuma bisa berteriak,
“Bohong… bohong….”
Aku tahu mereka menggelar karpet
bukan supaya lebih lega. Aku tahu kenapa. Tapi aku tetap belum bisa menerima
kenyataannya..
Dan aku mendengar mama berteriak
sambil menangis.. “Papap udah gak ada?!”
Aku gak akan pernah bisa lupa suara
itu. Suara kesedihan mama.
Mama meracau, “Papap kan belum
umrah.. tahun depan baru mau.. kan mau umrah bareng anak-anak.. belum haji..”
Aku tidak sanggup menatap mama, aku
ditarik Nicky ke kamar. Aku menangis. Aku cuma bisa menangis. Menyesali.
Merindukan. Memaafkan. Dan mengikhlaskan.
Ketika aku memeriksa 'Assalamualaikum', aku menemukan print-an atm. Dan aku seketika menangis kembali ketika melihat tanggal dan jumlah penarikan. Tanggal penarikan tepat sehari sebelum papap meninggal, dan jumlahnya seluruh isi tabungan papap. Berarti uang yang ada di dompet itu uang dari atm papap.. Ini lah feeling orang yang akan meninggal, ya..
Beruntunglah kalian yang masih
memiliki orang tua lengkap. Jaga. Perhatikan. Sopanlah. Nurut. Berbakti.
Sayangi. Jangan sampai menyesal seperti aku.
Aku selalu mencoba tetap ceria
seperti biasanya. Untuk mengalihkan pikiranku, aku menganggap papap sedang
dinas malam, atau sedang wisata bersama kantornya. Aku selalu berpikir bahwa setiap
malam papap selalu tidur di kamarnya, dan setiap jam sholat selalu ada di
Assalamualaikum. Sikat gigi papap di kamar mandi tak pernah kubuang kubiarkan
saja agar aku selalu merasa kalau papap masih menggunakan kamar mandi itu. Aku
selalu merasa tenang di rumah karena aku berpikir papap masih disini. Papap ada
disini. Menjaga kami, memperhatikan kami. Setiap kali aku tak bisa tidur karena
resah, aku takut akan suara-suara, aku baca doa, atau surat-surat pendek. Aku
berdoa pada Allah dan aku berpikir bahwa papap selalu ada menjaga kami, aku
kembali tenang. Aku membohongi diriku sendiri dengan menganggap papap masih
ada. Itu kulakukan agar aku tidak menangis setiap hari. Walaupun saat tersadar
dari kebohonganku sendiri, aku akan menangis cukup lama.
Aku kangen papap.
Maaf selama ini aku selalu
merepotkan papap.
Membuat papap kesal dan kecewa.
Sering membangkang saat papap
melarangku untuk main.
Aku kadang berbohong agar bisa
pulang agak malam.
Aku selalu membuat papap menunggu
untuk menjemputku, sejak SMK sampai aku kuliah.
Papap tak pernah marah walau
menungguku selama 4 jam di sekolah..
Aku kangen papap.
Yang tak peduli dengan topi
“bertani”nya saat mengendarai motor.
Yang selalu membahas kacamata hitam
kesayangannya yang aku hilangkan saat SMP.
Yang terkadang mengeluh saat
melihat makanan, daging lagi daging lagi. Mungkin papap sudah gak enak makan
ya.. atau sudah kesulitan untuk mengunyah. Mama sering kali membuat daging.
Papap pernah bilang, “Udah umur segini harusnya makan sayur.”
Maaf ade belum jago masak aneka
sayur yang papap mau.
Maaf ade kadang suka males nyiapin
papap minum kalau papap pulang kerja.
Maaf ade kadang ga ngedengerin
jokes papap karena garing.
Maaf ade tiap beliin kado belum
pernah barang yang mahal.
Maaf ade selalu memaksakan kehendak
ade.
Maaf ade egois.
Masih banyak maaf-maaf lainnya,
pap.. Papap mau kan maafin ade?:’(
Salam kangen, dari ade, mama, dan
teteh. We love you, forever. Thanks for everything.
our last photo shoot, 26th July 2013